Rabu, 13 Mei 2009

Temuan Prof Drooglever: Pepera 1969, Satu ”Manipulasi Sejarah”


Sejarah Papua Barat

Temuan Prof Drooglever: Pepera 1969, Satu ”Manipulasi Sejarah”
By.dety

JAKARTA—Penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 suatu “manipulasi sejarah”. Demikian kesimpulan Prof P.J. Drooglever dalam Seminar “Act of Free Choice”, di Den Haag, 15 November 2005, dengan membedah buku berjudul “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht” (tindakan bebas memilih dari orang Papua di Nieuw Guinea Barat, dan batas-batas penentuan nasib sendiri).

Karya ilmiah setebal 700 halaman dengan 14 bab itu dimulai tahun 1999 atas perintah Menlu Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh parlemen Belanda. Penugasan kepada sang profesor sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama yang dimotori oleh Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie.

Gerakan politik tadi mendapat angin segar setelah Gus Dur berkunjung ke Belanda pada Februari 2000. Gus Dur sebagai Presiden, dengan wawasan politik yang luas dan demokratis, telah mengubah paradigma Jakarta yang cenderung tertutup terhadap aspirasi rakyat Papua. Nama Papua dikembalikan kepada rakyat, bahkan mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai lambang budaya dan identitas orang Papua, bukan sebagai bendera nasional.
Sikap Gus Dur tadi tentu tidak disambut baik oleh hardliners di Jakarta, di antaranya Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang merasa Gus Dur telah mengkhianati perjuangan Bung Karno, yang telah memberi nama Irian kepada tanah dan bangsa yang tinggal di bekas koloni Belanda, Nederlands Nieuw Guinea.

Dua Konteks
Dua konteks yang mendorong penelitian itu dilakukan adalah, pertama karena Kongres II Rakyat Papua, Mei 1999 mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena rakyat Papua merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa, telah dibelokkan oleh kepentingan politik Jakarta. Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai pemimpin Indonesia yang lebih demokratis.

Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, tidak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 itu adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan sebetulnya dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi the act of free choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Masalahnya ialah Ortiz Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act of free choice atau Pepera itu bisa dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar sesuai dengan azas yang diakui oleh dunia internasional. Ortis Sans menyatakan proses itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di Papua, dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB U Thant. Ini berarti pula ada keberatan yang serius dari masyarakat internasional. Drooglever menyusun bukunya berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika Serikat, narasumber, para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tidak dipakai.

Bagi Drooglever, act of free choice adalah suatu peristiwa historis di abad modern ini, sebagaimana dialami oleh masyarakat di Papua, tatkala oleh kekuatan super power seperti Amerika Serikat, di era perang dingin 1962-1969, melakukan suatu konspirasi politik tingkat tinggi dengan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan act free choice bagi kepentingan Indonesia.

Masyarakat dunia kini dapat mendengar dan menyaksikan seorang mahaguru yang berhasil mengungkapkan sebuah kebenaran sejarah yang terkubur selama 43 tahun. Kebenaran itu kini tersingkap, betapa rakyat Papua terpaksa menelan pil pahit, karena janji untuk berdaulat sebagai negara yang merdeka telah berubah menjadi suatu tragedi kemanusiaan.

Anti “Amber”
Droogelever memaparkan antara 1962-1969 terjadi suatu proses penyimpangan dari ketentuan New York Agreement, dimana rakyat Papua dijamin berdasarkan praktik internasional untuk memilih sesuai hati nurani, apakah merdeka atau bergabung dengan Indonesia.

Buku Pepera terdiri dari 14 pasal, secara historis menuturkan bagaimana orang Papua yang baru bersentuhan dengan dunia modern di abad 16 oleh bangsa Spanyol. Antara abad 16 hingga akhir Perang Dunia II Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, tak punya niat untuk memperhatikan Papua, karena secara ekonomis wilayah itu tak punya arti.

Kendati demikian, tak boleh disangkal peranan para misionaris barat yang memulai gerakan penginjilannya di Papua di tahun 1855. Era baru bagi Papua, dimulai oleh semangat pekabaran injil, dan inilah proses dimana Tanah Papua dikuasai oleh para penginjil asal Jerman, Belanda dan penginjil serta guru jemaat asal Maluku dan Kei.

Drooglever mengungkapkan fakta di masa lalu, bahwa orang Papua dipandang lebih rendah oleh orang Ambon dan Kei. Sebaliknya, orang Papua bersikap mencurigai orang Ambon dan Kei sebagai “amber” (sebutan untuk pendatang) sebagai mereka yang merampok, dengan mengingat perang hongi yang penuh darah dan perbudakan.

Sentimen anti “amber” berkembang sejak awal abad 20 dan dari waktu ke waktu belum sempat mengalami proses pertobatan dan rekonsiliasi. Drooglever menggarisbawahi sentimen anti “amber” itu tetap hidup subur, kendati perjumpaan orang Papua dengan para pendatang itu semakin besar, pasca-Perang Dunia ke II.

Papua, Semangat Berdaulat Dirontokkan Bung Karno
Kontrol Belanda terhadap wilayah Papua, barulah terasa efektif setelah PD II (1950-1961). Papua dibebaskan oleh tentara AS dari kekuasaan Jepang, dan untuk seterusnya kepada Belanda diserahkan untuk diurus.

Dalam kurun waktu 11 tahun itu, dan ini terutama setelah Commisioner Van Eckhout membenahi administrasi pemerintahan dan pembangunan, Papua dianggap sah menjadi koloni Belanda. Pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan merupakan fokus dalam kurun waktu tadi, dan Belanda yakin Papua harus dipisahkan dari Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Rakyat Papua tidak tinggal diam. Suatu gerakan Messianis yang lahir di awal abad 20 terus menampakkan perlawanan terhadap Belanda dan Jepang. Gerakan ini ternyata bukan saja suatu fenomena agama adat, tetapi juga merupakan resistensi budaya dan politik untuk mempertahankan identitas orang Papua.

Pada tahun 1961, Pemerintah Belanda mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan bendera “Bintang Kejora” sebagai lambang, dan lagu “Hai Tanahku Papua” sebagai nyanyian kebangsaan, bersamaan dengan Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad) yang sudah efektif sejak 1960.

Semangat yang sempat lahir dan harapan untuk berdaulat sebagai satu bangsa, tiba-tiba dirontokkan oleh Bung Karno melalui pidato Trikora 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Tujuan Trikora ialah membubarkan “negara boneka Papua buatan Belanda”.

Drooglever menggambarkan interaksi tingkat elite antara PM Luns dari Belanda dan Presiden AS, John F Kennedy asal Partai Demokrat, dimana Luns pada awalnya meminta PBB agar proses internasionalisasi Papua tidak melibatkan pihak Indonesia.

Nampaknya Bung Karno tidak tinggal diam. Ia melirik dukungan militer Uni Sovyet. Ancaman Indonesia untuk memperoleh dukungan Rusia, telah membuyarkan harapan Belanda mendapat dukungan politik dan militer dari sekutunya.

Setelah Bung Karno mendeklarasikan invasi militer ke Papua dan rencana aneksasi secara menyeluruh rakyat dan militer, Belanda terpaksa tunduk atas desakan AS untuk menyerah, karena AS akan sangat sulit terlibat dalam suatu konfrontasi militer, jika terjadi perang baru di kawasan itu. Pada 2 Januari 1962 Belanda bersedia melibatkan Indonesia dalam perundingan tentang masa depan Nieuw Guinea, Papua.

Bunker’s Plan
Konfrontasi militer yang hampir pecah dan menyulut perang terbuka Belanda-Indonesia, akhirnya diatasi oleh proposal Bunker, Duta Besar AS di PBB. Inti rencana Bunker ialah Papua akan dialihkan dari Pemerintah Belanda ke Indonesia, di bawah pengawasan PBB.

Perdebatan di parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa setelah transisi tersebut, rakyat Papua masih akan menentukan hak untuk berdiri sendiri. Drooglever menyebutkan tentang drama memperebutkan dan mempertahankan Papua, oleh Belanda dan Indonesia, akhirnya berakhir pada Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Perjanjian New York ini mengatur bahwa Papua akan segera dialihkan oleh Belanda kepada PBB, dan di akhir 1969 akan dilakukan an act of free choice.

Kelemahan besar Belanda adalah, proses administrasi dalam masa transisi itu hanya dikelola Indonesia, dan tidak akan ada lagi jaminan bahwa act of free choice bakal berlangsung di bawah standar internasional. Belanda masih bisa mengatakan telah melakukan yang terbaik bagi Papua, tetapi masyarakat Belanda mencurigai Perjanjian 15 Agustus 1962 di New York itu adalah awal dari kegagalan Belanda memenuhi janjinya kepada rakyat Papua untuk dapat menentukan nasibnya sendiri secara adil dan benar.

Drooglever dalam studinya melakukan wawancara dengan ratusan tokoh Papua. Ia mencatat bahwa rakyat Papua sejak awal menyangsikan peralihan Papua kepada PBB (UNTEA) dan rencana act of free choice tidak membawa harapan bagi orang Papua. Mereka saksikan kekuatan PBB secara militer sangat lemah, apalagi penempatan pasukan perdamaian PBB asal Pakistan hanya bertahan setahun.

Sementara itu pengiriman pasukan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara dari Jakarta begitu banyak, dimana sulit dibayangkan Indonesia akan melepaskan Papua menjadi negara yang berdaulat. Kehadiran personel UNTEA sengaja dibatasi atas desakan Indonesia, sementara itu Ortiz Sans diberi ruang gerak yang sempit, bahkan jumlah stafnya diperkecil.

Ketika Ortiz Sans melaporkan kepada Sudjarwo Tjondronegoro bahwa terjadi perlakuan yang tidak benar oleh petugas Indonesia, termasuk militernya, Tjondronegoro, sebagai pengantara UNTEA dan Indonesia, menganggapnya pantas untuk ditanggapi. Niat untuk melakukan suatu act of free di Papua, secara sistematis dan berencana dialihkan ke suatu proses yang direkayasa oleh Jakarta.
Ortiz Sans tidak diperkenankan mengambil peran yang signifikan dalam proses persiapan maupun ketika diimplementasikan Pepera pada Juli-Agustus 1969. Drooglever mencatat semua saksi orang Papua, para wartawan luar negeri, para diplomat, khususnya para pengamat mancanegara, menyimpulkan apa yang terjadi dengan act free choice adalah tindakan yang memalukan.
Tjondronegoro dipandang sebagai artistek yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera untuk kepentingan Indonesia.

Dalam wawancara Drooglever dengan Radio Nederland, Drooglever mengatakan dirinya sadar bahwa hasil penyelidikan tentang act of free choice dan kebenaran yang ia temukan, akan membuat semacam iritasi di pihak RI, bahkan tidak ia maksudkan bahwa studinya akan menjadi alasan untuk terancamnya NKRI. Kendati begitu, buku ini telah menyingkap sebuah noktah hitam dalam sejarah Kerajaan Belanda, terhadap rakyat yang pernah dijajah, di Nederlands Nieuw Guinea, tapi berakhir dengan peristiwa yang memalukan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda