Rabu, 13 Mei 2009

Sejarah Papua Barat
Laporan Khusus: Luka Setelah Pepera
By Inno Jemabut
Nov 29, 2005, 16:22


JAKARTA - Pada tanggal 15 Agustus 1962 bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, disepakati sebuah persetujuan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda tentang penyelesaian masalah Irian Barat(kini Papua). Dengan kesepakatan tersebut wilayah yang dijajah Belanda sejak 24 Agustus 1828 itu diserahkan ke tangan PBB pada 30 September 1962.

Kesepakatan di New York tersebut mengatur cara masyarakat Papua menentukan masa depannya, apakah bergabung dengan Indonesia atau tidak, sebab Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari negara Indonesia yang harus direbut dari Belanda. Ini yang kemudian melahirkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tanggal 29 Juli 1969 yang diadakan oleh pemerintah
Indonesia dengan disaksikan oleh PBB.

Pepera adalah sebuah gambling bagi negara induk kalau hitungannya matematis. To be or not to be! Jika hasilnya sebuah pemisahan diri maka malapetaka bagi sebuah negara
induk, tetapi sebaliknya jika menghasilkan sebuah pengukuhan akan menamatkan riwayat para gerilyawan yang ingin mengambil pilihan merdeka. Pasalnya, negara punya alasan sah untuk menggunakan kekuatannya.

Tapi bagaimana kalau mekanisme penentuan pendapat rakyat itu dilanggar dan hasilnya menguntungakan satu pihak dan merugikan pihak lainnya? Tentu Pepera bukan sebuah
penyelesaian. Memikirkan sebuah negosiasi ulang bagi kedua belah pihak mungkin bisa jadi pilihan. Apa yang terjadi di Irian Barat bisa jadi seperti ini. Setelah Pepera,
pemasalahan tak kujung usai.

Dalam pasal XXII persetujuan antara Indonesia dan Belanda 43 tahun lalu ditegaskan bahwa "UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) dan Indonesia akan
menjamin hak-hak bebas berbicara, bebas bergerak dan berkumpul dan bersidang.

Hak-hak ini akan mencakup hak-hak penduduk dari wilayah yang telah ada pada waktu penyerahan pemerintahan pada UNTEA (ayat 1). Setelah Indonesia mengambil pemerintahan, Indonesia akan menempati janji-janji tersebut yang tidak bertentangan dengan kepentingan perkembangan ekonomi rakyat wilayah tersebut (ayat3)". Dalam pasal XV disebutkan bahwa tugas utama pemerintah Indonesia adalah mempergiat lebih
lanjut pendidikan rakyat, pemberantasan buta huruf, kemajuan perkembangan social kebudayaan dan ekonomi.

Penentuan pendapat rakyat pada hakikatnya adalah wujud demokrasi langsung di mana setiap penduduk dewasa memiliki hak untuk memilih dan tidak dapat diwakilkan oleh
siapapun. One man one vote! Tetapi apa yang terjadi di Papua saat itu sebaliknya.

Dengan alasan mengkuti sebuah kebiasaan bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan, masyarakat yang belum paham dengan Pepera serta kondisi wilayah yang tidak memungkinkan untuk bisa berkumpul membuat Pepera diwakili oleh sebuah dewan. UNTEA adalah perwakilan dari PBB yang sengaja dibentuk untuk menangani masalah Papua.

Demikian juga dengan Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (DM Pepera) hanya dikenal dalam penentuan pendapat rakyat di Papua untuk mewakili suara rakyat yang
sebetulnya tidak dapat diwakilkan.

Di belahan dunia lain, kita tidak mengenal dewan yang bertugas untuk mewakili suara rakyat seperti ini dalam hal penentuan pendapat. Lebih lagi, penentuan dewan ini
tidak melibatkan masyarakat sendiri. Masyarakat Papua tidak mengenal dari mana datangnya DM Pepera tersebut sebab dalam persetujuan sama sekali tidak disebutkan bagaimana warga memilih dewan tersebut.

Negosiasi Ulang
Penulis buku An Act of Free Choice, Profesor Pieter Drooglever yang meneliti masalah Pepera mengaku banyaknya kelemahan yang terjadi dalam melaksanakan Pepera. Meski ia
juga mengatakan belum cukup alasan agar proses tersebut bisa diulang kembali.

Baginya, masa depan Papua dengan Indonesia sangat tergantung pada bagaimana Indonesia memperlakukan wilayah tersebut. Sulit untuk memungkiri kalau Pepera telah
memperdayai setidaknya 700.000 penduduk yang tidak ikut menentukan sendiri pendapatnya karena adanya dewan perwakilan.

Dengan merujuk ke tulisan Pieter Drooglever itu saja cukup untuk mengatakan bahwa adanya negosiasi ulang antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua saat ini
adalah sesuatu yang mendesak.

Memang kita tidak bisa mengabaikan usaha pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah ini. Lihat saja betapa banyaknya undang-undang yang sudah dihasilkan agar
masalah di Papua bisa tuntas, baik ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Namun, sejauh mana penghargaan terhadap hak asasi dalam upaya tersebut mesti dipikirkan kembali.

Tentu dengan merujuk kembali pada persetujuan 43 tahun lalu di atas. Pasal XIV menegaskan "Undang-undang dan peraturan baru atau perubahan-perubahan pada undang-undang dan peraturan-peraturan yang telah ada dapat dijalankan menurut jiwa persetujuan ini". Adakah ini yang terlupakan dalan setiap kali pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk Papua? Mampukah pembuat undang-undang di Indonesia
sekarang menangkap semangat persetujuan tersebut?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda