Rabu, 13 Mei 2009

Buku Drogleever Sebatas Kebutuhan Akademis ?


Sejarah Papua Barat

Buku Drogleever Sebatas Kebutuhan Akademis ?
By Gasper Muabuay
Nov 26, 2005, 04:51

Membaca pemberitaan dari Kantor Berita Antara yang dilansir SKH Timika Pos, (16/11), berjudul ‘Masyarakat Sambut Hasil Survey Pepera 1969’ dan mendesak Profesor Drogleever di Belanda mengumumkan hasil penelitian sejarah integrasi Papua ke Indonesia pada 15 Novemver 2005 agar dapat diketahui dengan benar proses politik Pepera 36 tahun lalu itu.

Naskah yang sudah dibukukan itu berjudul ” Een Daad van Vrije Keuze atau Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Hasil wawancara Prof. Drogleever juga disiarkan oleh Radio Netherlands Siaran Indonesia (Ranesi, Hilversum, 15 November 2005).

Seperti telah diketahui publik bahwa proses penggabungan Papua ke ibu pertiwi dilakukan dibawah pengawasan Badan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memberikan tugas pelaksana kepada pemerintah Indonesia pada waktu itu.

Kemudian, proses ‘penentuan nasib sendiri’ (AN act of free choice) dilakukan di Papua dengan membentuk suatu badan yang didirikan di tiap kabupaten dan disebut Dewan Musyawarah Pepera (Demus Pepera) yang keanggotaannya langsung ditunjuk oleh pemerintah Indonesia. Yang menurut perkembangan populasi warga Papua waktu itu, dari sekitar 800.000 penduduk yang diperkirakan terdapat 700.000 orang dewasa. Dari jumlah itu, hanya ditunjuk langsung 1022 orang yang terdaftar sebagai anggota Dewan Musyawarah Pepera. Dari ke-1022 orang yang ditunjuk itu yang menyampaikan pendapat yang telah dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia dibawah supervisi PBB dan secara aklamasi menyatakan bergabung dengan Indonesia.

Dari sekilas catatan sejarah di atas dapat diambil pemaknaannya dan dihubungkan dengan pengumuman penelitian sang profesor Belanda itu. Pertanyaannya, jika selama ini pemerintah selalu memberi tanggapan dan meyakinkan masyarakat bahwa proses integrasi Papua sudah final sebagai sebuah wilayah sah di repulik ini alias tidak dapat diganggu gugat lagi oleh pihak mana pun termasuk rakyat Papua. Namun kini dengan dibuka-bukanya sejarah Papua oleh pihak-pihak di luar negeri, justru menimbulkan ketidakkpastian dan membingungkan publik secara daerah maupun nasional.

Jika dari hasil pengkajian ‘ilmiah’ (kebenaran hakiki) itu, akhirnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru bagi pemerintah tentang keabsahan integrasi Papua ke Indonesia. Maka apa yang bisa pemerintah jawab untuk mengamankan posisi Papua di dalam wilayah NKRI yang kini tidak dapat dipungkiri sedang menjadi fokus perhatian luas berbagai kalangan ?

Mungkin akan muncul banyak anggapan orang yang boleh mengatakan, hasil penelitian yang telah dijilid itu hanya merupakan pengkajian bagi kebutuhan keilmiahan akademis saja. Namun ada kemungkinan bahwa naskah ilmiah itu bisa saja dijadikan sebagai naskah politik bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan bagi masalah Papua. Mengingat kini soal Papua telah menjadi konsumsi komunitas internasional dari berbagai belahan negeri di planet ini.

Walaupun seperti yang telah diwartakan oleh sejumlah media massa resmi dalam dan luar negeri dan dapat ditarik satu kesimpulan bahwa studi akademik yang dirampungkan Profesor Drogleever dan Institut voor Nederlandse Geschiedenis, Lembaga Sejarah Belanda sejak tahun 2000 itu menjadi pertanggungjawaban penulisnya sendiri. Jadi bukan menjadi tanggungjawab pemerintah dan parlemen Belanda. Yang dalam arti pemerintah Belanda sama sekali lepas tangan/terbebas dari semua itu.

Walaupun secara strategis pemerintah Belanda boleh saja mengelak seperti itu, namun secara politis suksesnya penulisan buku Pepera itu terselesaikan berkat adanya dukungan persetujuan/ijin dari pemerintah Belanda sendiri melalui Lembaga Sejarah Belanda milik pemerintah Netherlands.

Sampai pada kesimpulan ini, dimana secara implisit pemerintah Belanda telah mengakui isi dari karya ilmiah itu dan paling tidak pihak Belanda sendiri dapat menjelaskan kembali kepada dunia dan terutama pemerintah Indonesia jika memang naskah prof. Drogleever itu bukan ditulis bagi kepentingan pemerintahnya.

Selanjutnya, bagaimana sikap pemerintah Indonesia atas penerbitan Buku yang menceritakan secara detail sejarah pengambilalihan Papua dari Belanda ke Indonesia ?

Jika saat ini secara mendunia sudah ada pengakuan terhadap materi penulisan ilmiah dari buku ini yang menyingkapkan sejumlah kecacatan dan kebenaran sejarah Pepera. Maka pemerintah Indonesia yang telah lama memiliki hak atas Papua juga mesti menentukan sikap yang jelas agar tidak menjadi kerikil di dalam sepatu integritas nasionalnya. Misalnya kalau memang katalisasi sejarah masa lalu berjalan kurang sesuai di Papua, maka apa yang harus pemerintah Jakarta katakan kepada rakyat Papua dan dunia serta menjelaskan secara baik dan benar apa yang telah terjadi di Papua pada tahun 1969. Termasuk pemerintah Belanda , Amerika Serikat, dan PBB yang karena peranan global saat ‘perang dingin’ antara blok timur dan barat serta kepentingan mereka kala itu yang ikut serta didalam proses campur tangan atas Pepera di Papua yang menurut mereka sesuai dengan kondisi zaman pada waktu itu.

Barangkali akan cukup sulit untuk terjadi suatu pengakuan hakikat terhadap kasus Papua, karena masing-masing pihak memiliki sikap pandang yang berbeda dan berprinsip pada kondisi dunia dan Papua kala itu yang menurut mereka rakyat Papua sulit diajak melakukan jajak pendapat secara one man one vote dengan alasan masalah geografis dan ketidaksiapan warga Papua pada waktu itu untuk mengikuti pemilu dengan praktek demokrasi modern.

Jika pun demikian, bagaimana kebenaran dan ketidakbenaran fakta sejarah itu bisa diungkap dengan bijaksana agar semua dapat mengetahui apa yang terjadi di balik semua itu ?

Walaupun dapat ditebak bahwa penulisan buku itu tersurat dan sarat cerita yang memuat campur tangan negara-negara asing dan PBB atas proses Pepera 1969 itu. Namun bila dibaca perkembangan dunia pada dewasa ini, pemerintah-pemerintah dunia itu, seperti, Belanda dan Amerika akan lebih memfokus pada menjaga kepentingan hubungan bilateral dan multirateral antar negara daripada berpikir melibatkan diri ke dalam persoalan Papua yang justru mengorek permasalahan integrasi nasional republik Indonesia. Dan menganggu hubungan persahabatan yang telah terbangun selama ini.

Maka dapat ditarik poin-poin penting bahwa bagi pemerintah Indonesia mungkin tidak terlalu menganggap penting diterbitkannya buku Pepera Papua itu, sebab Papua menurutnya merupakan sebuah wilayah yang sah dan telah dilandasi oleh pengakuan PBB selama bertahun-tahun. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian dan peluncuran buku Profesor Drogleever yang mendapat rekomendasi pemerintah Belanda ini, bukan tidak mungkin dapat menjadi kerikil tajam di dalam sepatu integral Negara Kesatuan Republik Indonesia di kemudian hari.

(Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik, Tinggal di Timika - atikel ini telah dimuat di Timika Pos, Kamis, 24 November 2005)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda